Psikologi Remaja

Rangkuman

Judul : Psikologi Remaja

Pengarang : Dr. Sarlito Wirawan Sarwono

BAB I

DEFINISI REMAJA

I. DEFINISI MENURUT HUKUM INDONESIA

Konsep ”remaja” tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku.

Contoh data :

Hukum Perdata

Usia ≥ 21 tahun (atau kurang tapi sdh menikah) à dewasa

Usia < 21 tahun (dan belum menikah) à masih butuh wali untuk melakukan tindakan hukum perdata (mis. Mendirikan perusahaan atau membuat perjanjian di hadapan pejabat hukum)

Hukum Pidana

Usia ≥ 18 tahun (atau kurang tapi sdh menikah) à dewasa

Usia < 18 tahun (blm menikah) à anak-anak (msh mjd tgjwb orang tua), contoh: jika melakukan pencurian tdk disebut tindakan kejahatan (kriminal) tapi disebut ”kenakalan”, jika tindakan tersebut patut dijatuhi hukuman negara dan orang tuanya ternyata tidak mempu mendidik anak itu lebih lanjut maka mjd tgjwb negara dan dimasukkan ke dalam lembaga pemasyarakatan khusus anak-anak (di bawah Departemen Kehakiman)

Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No.4 / 1979)

Usia < 21 tahun à anak-anak, berhak mendapat perlakuan dan kemudahan-kemudahan yang diperuntukkan bagi anak (misal : pendidikan, perlindungan dari orang tua, dll.)

UU Lalu Lintas

Usia ≥ 18 tahun à SIM A (SIM kendaraan roda 4 berbobot < 2 ton)

Usia ≥ 21 tahun à SIM B I ke atas (SIM kendaraan roda 4 > 2 ton)

Usia ≥ 16 tahun à SIM C (kendaraan roda 2)

UU tidak mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut dan memperlakukan semua di bawah usia tsb sebagai belum cukup umur atau belum dewasa.

Hanya UU Perkawian saja yang mengenal konsep remaja walau tidak terbuka.

UU Perkawinan

Pasal 7 UU no.1 1974 ttg Perkawinan

Usia 16 tahun (wanita) & 19 tahun (pria) à usia minimal suatu perkawinan

Usia < 21 tahun à masih dibutuhkan izin orang tua untuk menikahkan

Usia ≥ 21 tahun à sudah tidah dibutuhkan izin orang tua untuk menikahkan

Jadi usia 16/19 s/d 21 tahun à dianggap belum dewasa penuh à disejajarkan dengan pengertian-pengertian ”remaja” dalam ilmu sosial

II. REMAJA DITINJAU DARI SUDUT PERKEMBANGAN FISIK

Remaja adalah :

masa pematangan fisik (± 2 tahun) : ”PUBERTAS”

wanita à dihitung mulai haid pertama

laki-laki à dihitung mulai mimpi basahnya

Istilah :

Inggris à ”Puberty”

Latin à (1) The Age of Manhord (Usia Kedewasaan), (2) “Pubescere” (pertumbuhan rambut di daerah tulang ‘pusic’ / di bawah kemaluan)

Note :

Sulit menentukan batas umur remaja, karena proses biologis tersebut dipengaruhi keadaan lingkungan, khususnya keadaan gizi yang lebih baik yang mempercepat pertumbuhan organisme seksual manusia . Usia menarche (awal haid) dipengaruhi oleh hubungan antar jenis yang serba boleh (permisif), sehingga mempercepat kematangan tubuh.

III. REMAJA MENURUT WHO

Remaja adalah seuatu masa dimana :

1. individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual

2. individu mengelami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa

3. terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang lebih mandiri

(Muangman, 1980, hal. 9)

WHO menetapkan usia 10-20 tahun à Remaja

Karena kehamilan dalam usia-usia tersebut mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada kehamilan dalam usia-usia di atasnya. (Sanderowitz dan Paxman, 1985)

Penetapan umur tersebut diberlakukan juga pada laki-laki.

WHO membagi 2 tahap remaja :

1. Remaja awal : 10-14 tahun

2. Remaja akhir : 15-20 tahun

Usia pemuda berdasarkan :

  • PBB à 15-24 tahun
  • Sensus penduduk 1980 (di Indonesia) à 14-24 tahun

IV. DEFINISI SOSIAL-PSIKOLOGIK

Csikszentimilhalyi & Larson (1984, hal 19):

Menyatakan bahwa puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi “Entropy (isi banyak tapi belum terkait dengan baik)” ke kondisi “Negentropy (isi kesadaran tersusun dengan rapi, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain dan pengetahuan jelas hubungannya dengan sikap atau perasaan.

V. DEFINISI REMAJA UNTUK MASYARAKAT INDONESIA

Pedoman umum à usia 11-24 tahun dan belum menikah

BAB II

TINJAUAN TEORI

Awal mula konsep tentang remaja

*Konsep anak sudah dikenanl sejak abad ke-13

*Remaja baru dikenal secara meluas dan mendalam pada awal abad ke-20 namun tulisan-tulisan klasik yang menunjukkan indikasi tetantang remaja suda ada sejak jaman filsuf Aristoteles (384-322 SM) dan J.J. Rousseau dalam bukunya Emile (1762)

Tahap perkembangan jiwa menurut Aristoteles sbb :

1. 0-7 thn : masa kanak-kanak (infancy)

2. 7-14 th : masa anak-anak (boyhood)

3. 14-21 th : masa dewasa muda (young manhood)

(R.E. Muss, 1968, hal 15)

Batas usia 21 tahun tetap digunakan dalam kitab-kitab hukum bbbg negara, sebagai batas usia dewasa.

Empat tahap perkembangan Rousseau :

1. 0-4/5 thn à masa kanak-kanak (infancy)

2. 5-12 thn à masa bandel (savage state)

3. 12-15 thn à bangkitnya akal (ratio), nalar (reason) dan kesadaran diri (self conciosness)

4. 15-20 thn à masa kesempurnaan remaja (adolescene proper) dan merupakan puncak perkembangan emosi.

(R.E. Muss, 1968, hal 27-30)

Teori Rousseau yang merekapitulasi (meringkas) perkembangan evolusi umat manusia pada perkembangan individu manusia mempunyai pengikut di awal abad ke 20 yaitu G.S Hall (1844-1924) sarjana psikologi Amerika Serikat yang oleh beberapa buku teks disebut sebagai Bapak Psikologi Remaja.

Petro Bloss (1962)

Proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja :

  1. Remaja Awal (Early Adolescene)

masih heran pada diri sendiri

mengembangkan fikiran baru

cepat tertarik pada lawan jenis

kurang kendali thd “ego” (sulit mengerti dan dimengerti orang lain)

  1. Remaja Madya (Midle Adolescene)

membutuhkan kawan-kawan

cenderung ”narcistic” (mencintai dirinya sendiri, suka dengan teman-teman yang memiliki sifat yang sama / mirip dengan dia)

labil

  1. Remaja Akhir (Late Adolescene)

Masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal berikut :

a. minat terhadap fungsi-fungsi intelektual

b. egonya mencari kesempatan bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru

c. identitas seksual tidak brubah lagi

d. egosentrisme diganti dengan keseimbangan anatara kepentingan sendiri dengan orang lai

e. tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya dan maayarakat umum

John Amos Comenius (1592-1670)

” Teori pendidikan yang berwawasan perkembangan jiwa yang didasarkan pada teori Psikologis Fakultas”

Pembagian tersebut adalah dalam 4 tahap, @ lamanya 6 tahun :

1. 0-6 tahun à pendidikan oleh ibu sendiri (mother school) untuk mengembangkan bagian dari jiwa (=fakultas) penginderaan dan pengamatan

2. 6-12 tahun à pendidikan dasar (elementary education) sesuai dengan berkembangnya fakultas ingatan (memory) dan diberikanlah dalam tahap ini pelajaran-pelajaran bahasa, kebiasaan-kebiasaan sosial dan agama.

3. 12-18 tahun à sekolah lanjutan (latin school) sesuai dengan berkembangnya fakultas penalaran (reasoning). Pada tahap ini anak-anak dilatih untuk mengerti prinsip-primsip kausalitas (hub. Sebab akibat) melalui pelajaran tata bahasa, ilmu alam, matematika, etika, dialektika dan retorika.

4. 18-24 tahun à pendidikan tinggi (universitas) dan pengembangan(travel) untuk mengembangkan fakultas kehendak (faculty of will)

(R.E. Muss, 1968, hal.21-23)

Kurt Lewin

Tingkah laku yang menurut pendapatnya akan selalu tdpt pada remaja :

  1. Pemalu dan perasa, tetapi cepat marah dan agresif sehubungan belum jelasnya batas-batas antara berbagai sektor di lapangan psikologik remaja.
  2. Ketidakjelasan batas-batas ini menyebabkan pula remaja terus-menerus merasakan pertentangan antara sikap, nilai, ideologi, dan gaya hidup
  3. Konflik sikap, nilai dan ideologi tersebut di atas muncul dalam bentuk ketegangan emosi yang meningkat.
  4. Ada kecenderungan pada remaja untuk mengambil posisi yang sangat ekstrim dan mengubah kelakuannya secara drastis, akibatnya sering muncul tingkah laku radikal dan memberontak di kalangan remaja.
  5. Bentuk-bentuk khusus dari tingkah laku remaja pada berbagai individu yang berbeda akan sangat ditentukan oleh sifat dan kekuatan dorongan-dorongan yang saling berkonflik di atas

(Muss, 1968, hal. 95)

BAB IV

PERKEMBANGAN PSIKOLOGIK REMAJA

Pembentukan Konsep Diri

Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa.

Secara psikologik kedewasaan adalah keadaan di mana sudah ada ciri-ciri psikologik teretentu pada seseorang. Ciri-ciri psikologik itu menurut G.W. Allpoert (1961, Bab VII) adalah :

  1. Pemekaran diri sendiri (extention of the self) :

egoisme berkurang

rasa memilliki meningkat

mencintai orang lain dan alam sekitar

kemampuan tenggang rasa

  1. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (sel objectivication) :

kemampuan mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight)

kemampuan untuk menangkap humor (sese of humor)

tidak marah jika dikritik

dapat mengevaluasi dir

  1. Memiliki filsafat hidup tertentu (unifying philosophy of life) :

tidak mudah terpengaruh

pendapat-pendapatnya dan sikapnya cukup jelas dan tegas

Menurut Richmond dan Slansky (1984, hlm.110-111) inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan. Sedangkan menemukan bentuk kepribadian yang khas (yang oleh Allport dinamakan ”unifying philosophy of life”) dalam periode itu belum menjadi sasaran utama.

Perkembangan Intelegensi

Intelegensi adalah -David Wechsler (1958)- :

Keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.

Intelegensi memang mengandung unsur fikiran atau ratio. Makin banyak unsur ratio yang digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, makin berintelegensi tingkah laku tersebut.

Ukuran intelegensi dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient).

Perhitungan :

* Orang Dewasa

Dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal (hitungan, kata-kata, gambar-gambar dan lain-lain) dan menghitung berapa banyaknya pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar dan membandingkannya dengan sebuah daftar (yang dibuat berdasarkan penelitian yang terpercaya) maka didapatkanlah nilai IQ yang bersangkutan.

* Anak-anak

Dengan menyuruh mereka melakukan pekerjaan tetentu dan menjawab pertanyaan tertentu (misalnya: menghitung sampai 10 atau 100, menyebut nama-nama hari atau bulan, membuka pintu dan menutupnya kembali, dan lain-lain). Jumlah pekerjaan yang bisa dilakukan anak kemudian dicocokkan dengan membuat daftar untuk mengetahui usia mental (mental age = MA) anak. Makin banyak yang bisa dijawab atau dikerjakan anak, makin tinggi usia mentalnya. Usia mental ini kemudian dibagi dengan usia kalender (callender age = CA) dan dikalikan 100, maka didapatkan IQ anak.

Rumus : IQ = MA/CA x 100

Teori intelegensi yang meninjaunya dari sudut perkembangan dikemukakan oleh Jean Piaget (1896-1980). Piaget berpendapat bahwa setiap orang mempunyai sistem pengaturan dari dalam pada sistem kognisinya. Sistem pengaturan ini terdapat sepanjang hidup sesorang dan berkembang sesuai dengan perkembangan aspek-aspek kognitif yaitu :

  1. Kematangan, merupakan perkembangan susunan syaraf shg misalnya fungsi-fungsi indera menjadi lebih sempurna.
  2. Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik dengan lingkungannya.
  3. Transmisi sosial, yaitu hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial antara lain melalui pengasuhan dan pendidikan dari orang lain.
  4. Ekuilibrasi, yaitu sistem pengaturan dalam diri anak itu sendiri yang mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. (Gunarsa, 1982, hlm.140-141)

Sistem pengaturan mempunyai 2 faktor :

  1. Skema

Adalah pola yang teratur yang melatarbelakangi suatu tingkah laku.

  1. Adaptif

Adalah penyesuaian terhadap lingkungan yang bersangkut-paut dengan tujuan dan perjuangan hidup.

Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut (Gunarsa, 1982, hlm.146-161; Piaget, 1959, hlm.123)

  1. Tahap I : Masa sensori-motor (0-2.5 tahun)

Masa ketika bayi mempergunakan sistem penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya.

  1. Tahap II : Masa praoperasional (2.0-7.0 tahun)

Ciri khasnya adalah kemampuan menggunakan simbol, yaitu mewakili sesuatu yang tidak ada.

  1. Tahap III : Masa konkrit-operasional (7.0-11.0 tahun)

Sudah bisa melakukan berbagai macam tugas yang konkrit. Ia mulai mengembangkan 3 macam operasi berfikir, yaitu :

a. Identitas : mengenali sesuatu

b. Negasi : mengingkari sesuatu

c. Resiprokasi : mencari hubungan timbal baik antara beberapa hal

  1. Tahap IV : Masa formal-operasional (11.0-dewasa)

Dalam usia remaja dan seterusnya sesorang sudah mampu berfikir abstrak dan hipotetis.

Masa remaja adalah masa yang penuh emosi. Salah satu ciri periode ”topan dan badai” dalam perkembangan jiwa manusia ini adalah emosi yang meledak-ledak, sulit untuk dikendalikan. Plato menyamakan emosi remaja ini dengan ”api”. Di satu pihak emosi yang memnggebu-gebu ini memang menyulitkan, terutama untuk orang lain (termasuk orang tua dan guru) dalam mengerti jiwa si Remaja. Tetapi di lain pihak, emosi yang menggebu ini bermanfaat untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya.

Perkembangan Peran Sosial

Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lain pada umumnya disebakan antara lain oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak ia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus terus mengikuti kemauan orang tuanya.

Konflik peran yang dapat menimbulkan gejolak emosi dan kesulitan-kesulitan lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan memberi latihan-latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan kemandiriannya anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang lebih mantap. Oleh karena ia tahu dengan tepat saat-saat yang berbahaya di mana ia harus kembali berkonsultasi dengan orang tuanya atau dengan orang dewasa lain yang lebih tahu dari dirinya sendiri.

Perkembangan Peran Seksual

Ada 4 macam manusia ditinjau dari peran seksualnya, yaitu :

  1. Tipe maskulin, yaitu yang sifat kelaki-lakiannya di atas rata-rata, sifat kewanitaannya kurang dari rata-rata.
  2. Tipe feminin, yaitu yang sifat kewanitaannya di atas rata-rata, sifat kelaki-lakiannya kurang dari rata-rata.
  3. Tipe androgin, yaitu yang sifat kelaki-lakian maupun kewanitaannya di atas rata-rata.
  4. Tipe tidak tergolongkan (undiferentiated), yaitu yang sifat kelaki-lakiannya maupun kewanitaannya di bawah rata-rata.

(Wrightsman, 1981, hlm.445)

Perkembangan Moral dan Religi

Religi yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam moral sebenarnya diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik sehingga perlu dihindari. Agama, oleh karena mengatur juga tingkah laku baik-buruk, secara psikologik termasuk dalam moral. Hal lain yang termasuk dalam moral adalah sopan-santun, tata krama, dan norma-norma masyarakat lain.

Kohlberg membagi perkembangan moral dalam 3 tahap yang masing-masing dibagi lagi dalam 2 tingkatan :

  1. Tahap I (tingkat 1 dan 2) : Tahap Prakonvensional

Tingkat 1 à pedoman mereka hanyalah hindari hukuman

Tingkat 2 à sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.

  1. Tahap II (tingkat 3 dan 4) : Tahap Konvensional

Setuju pada aturan dan harapan masyarakat dan penguasa, hanya karena memang sudah demikianlah keadaannya. Terjadi pada remaja dan sebagian besar orang dewasa.

  1. Tahap III (tingkat 5 dan 6) : Tahap Pasca Konvensional

Terjadi pada sebagian orang dewasa. Tahap ini mendasarkan penilaian mreka terhadap aturan dan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip moral umum.

Tingkat 1 à kontak sosial atau hak individu

Tingkat 2 à prinsip etika universal

(Lickona, 1975, hlm. 32-33)

BAB V

REMAJA SEBAGAI SUBKULTUR

Masyarakat Transisi

Masyarakat transisi dalam istilah J. Useem dan R.H. Useem dinamakan ”modernizing society”. Masyarakat ini adalah masyarakat yang sedang mencoba untuk membebaskan diri dari nilai-nilai masa lalu dan menggapai masa depan dengan terus menerus membuat niali-nilai baru atau hal-hal baru.

Menurut Emile Durkheim, keadaan masyarakat transisi akan membawa individu anggota masyarakat kepada keadaan ’anomie’. Anomie menurut Durkheim adalah ”normlessness” yaitu suatu sistem sosial dimana tidak ada petunjuk atau pedoman buat tingkah laku. Jadi adalah keadaan ekternal seperti dalam keadaan hukum rimba yang terdapat dalam masyarakat yang tiba-tiba dilanda perang. Kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba tidak berlaku lagi. Akibatnya adalah ”individulaisme” dimana individu-individu bertindak hanya menurut kepentingannya masing-masing (Durkheim, 1951)

Kondisi anomie ini tentu saja tidak hanya berlaku terhadap anggota masyarakat dewasa, melainkan juga terhadap para remaja.

Merton selanjutnya menyatakan bahwa anomie juga menunjuk pada manusia yang ”ambivalent” (tidak jelas nilai yang dianutnya) dan ”ambigous” (tidak jelas bentuk kelakuannya) dalam masyarakat yang juga tidak konsisten (Merton,1957). Akibatnya memang ada manusia-manusia yang bertingkah laku konform, yaitu menerima nilai (oleh Merton diartikan sebagai tujuan umum dari suatu kebudayaan) dan norma (artinya aturan-aturan khusus dari lembaga masayarakat tertentu). Remaja-remaja yang menerima apa saja yang dikatakan orang tua mereka untuk mencapai gelar sarjana adalah contoh dari jenis konform ini.

Akan tetapi selanjutnya Merton mengatakan bahwa disamping mereka yang bersikap konform terhadap nilai dan norma, ada orang-orang yang menentang (bertingkah laku ”deviant” atau menyimpang) nilai atau norma itu atau kedua-duanya.

Tingkah laku menentang digolongkan ke dalam 4 jenis (Merton) :

  1. ”innovation”

Yaitu tingkah laku yang menyetujui nilai tetapi menentang norma. Akibatnya bisa negatif dan positif.

  1. ”Ritualism”

Yaitu tingkah laku yang menolak nilai-nilai tetapi menerima norma.

  1. ”Retreatism”

Yaitu pengingkaran terhadap nilai maupun norma. Bentuk reaksinya adalah pelarian-pelarian dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku.

  1. ”Rebellion”

Yaitu pemberontakan, menolak nilai-nilai dan norma-norma yang ada tapi mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma yang lain yang berasal dari luar masyarakatnya.

Remaja Sebagai Anggota Keluarga

WAR (World of Abnormal Rearing)

Definisi : kondisi dimana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari kemampuan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar manusia (Kempe & Helfer, 1980, hal.38).

Ciri-ciri WAR (diantaranya) :

  1. Anak dipukuli (pada sebagian keluarga WAR)
  2. Anak disalahgunakan secara seksual (misalnya dijadikan korban incest atau dipaksakan kawin pada usia masih kanak-kanak, ini pun hanya pada sebagian keluarga WAR)
  3. Anak tidak dperdulikan (ini lebih banyak terjadi)
  4. Anak dianggap seperti anak kecil terus atau dianggap tidak berarti (paling banyak terjadi)

Akibat WAR : anak-anak menjadi terkekang sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik di luar rumah sendiri.

Secara sosiologis, faktor-faktor yang ada kaitannya dengan penelantaran dan penyalahgunaan anak ini menurut Wolf (1981) adalah sebagai berikut :

  1. Tidak terpantau tetangga, karena cenderung terisolasi (dalam masyarakat modern).
  2. Kepentingan bersama anak dan orang tua makin lama makin melemah sehingga makin banyak pasangan suami-istri yang tidak ingin mempunyai anak dan kalau ada anak di rumah mudah timbul sikap negatif pada anak-anak.
  3. Anggota-anggota keluarga makin jarang di rumah.
  4. Anak menjadi objek dari ambisi-ambisi pendidikan.
  5. Tekanan ekonomi dan mereka tidak dapat keluar dari sana.

Remaja di Sekolah

Faktor yang berpengaruh di sekolah bukan hanya guru dan sarana pendidikan saja, tetapi lingkungan pergaulan antar teman pun besar pengaruhnya.

Remaja dalam Masyarakat

Masyarakat sebagai lingkungan tertier (ketiga) adalah lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan. Terutama dengan maju pesatnya teknologi komunikasi massa maka hampir-hampir tidak ada batas-batas geografis, etnis, politis, maupun sosial antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Istilah, gaya hidup, nilai dan perilaku dimasyarakatkan melalui media massa ini, pada gilirannya remaja akan dihadapkan kepada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan batin di dalam remaja itu sendiri. Pertentangan batin itu bisa berupa ”konflik” (menurut istilah Kurt Lewin) yang ada beberapa macam jenisnya (Sarlito, 1986), yaitu :

  1. Konflik mendekat-mendekat : dimana ada dua hal yang sama kuat nilai positifnya, tapi saling bertentangan.
  2. Konflik menjauh-menjauh : dimana ada dua hal yang harus dihindari akan tetapi tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus.
  3. Konflik mendekat-menjauh : yaitu jika suatu hal tertentu sekaligus mengandung nilai posistif dan negatif.

13 Tanggapan to “Psikologi Remaja”

  1. pahaji Says:

    boleh ga aku dikasih contoh angket/ daftar pertanyaan buat para siswa kelas 2 SMA menyangkut pengaruh orang tua autoritarian terhadap kenakalan remaja kini..?!
    thanks ya sebelumnya.

  2. Fitri Says:

    postingan anda sangat membantu saya buat tugas kuliah.. terima kasih.

    salam kenal, V3
    http://duniapsikologi.dagdigdug.com/

  3. suhaili Says:

    terimakasih, anda telah banyak membantu saya memahami tentang remaja.

  4. bforkl'hatne Says:

    keren. . .!!! lengkap semuanya. ijin di link ya gan.

  5. leea sholehah Says:

    ijin copas ya ,,,,,,,

  6. harry Says:

    izin copy ya …trims

  7. Asuhan Keperawatan NANDA Says:

    Artikel yang bagus…
    Saya mau tanya, bagaimana cara menjelaskan tentang seks pada remaja…
    terima kasih…

  8. ahmad Says:

    artikelnya bagus banget. semoga bisa menginspirasi orang tua dalam mendidik anak jaman sekarang. trims ya

  9. alifmunazila Says:

    Semoga bermanfaat bagi semua remaja Indonesia agar generasi muda semakin kaya pengetahuan…Amiinnn

  10. Hartati Says:

    boleh minta dituliskan beberapa problematika remaja dan solusinya bagi pihak guru dan sekolah

  11. Definisi Dan Pengertian Etika Menurut Agama Islam | Terbaru 2015 Says:

    […] PDF File Name: Psikologi remaja | mentoring agama islam weblog Source: mentoringku.wordpress.com » DOWNLOAD « […]


Tinggalkan komentar