Selamat Datang Krisis !


Ada sebagian orang yang khawatir kalau krisis keuangan ini akan menjerumuskan perekonomian Indonesia ke jurang kehancuran yang lebih dalam dari yang pernah kita rasakan dan lihat tahun 1997-1998. Seperti apa logika kekhawatiran itu? Logikanya adalah kehancuran sector keuangan Amerika, Eropa dan juga Jepang, akan pula mengacaukan sector riil mereka akibat tamparan beruntun berupa keketatan likuiditas yang membuat capital produksi langka dan pemberhentian kerja secara massif diawali oleh perusahaan-perusahaan keuangan. Kondisi tersebut tentu akan menurunkan daya beli masyarakat cukup signifikan. Terlebih lagi jika masyarakat secara kolektif cenderung menahan uang tunainya atas dalih berjaga-jaga mengantisipasi portfolio-portfolio investasi yang saat ini sedang tidak menarik untuk diakrabi.

Sebagai negara tujuan ekspor terbesar dari produk Indonesia (akumulasi Amerika, Eropa dan Jepang), tentu penurunan daya beli masyarakat Amerika, Eropa dan Jepang akan membuat goyangan yang cukup keras bagi trade balance Indonesia. Apalagi jika sector keuangan Indonesia juga ikut guncang mengingat pasar keuangan sewajarnya tidak memiliki sekat yang mampu mengisolasi krisis ada di pasar keuangan negara tertentu. Jika perkiraan ini terjadi, maka lumrahlah kekhawatiran membuat banyak orang sedikit mengurut dada menekan degub jantungnya yang semakin keras.

Terbayang kembali masa-masa sulit 1997-1998; antrian sembako, PHK dimana-mana, kriminalitas, social unrest, penjarahan, dan pemandangan menakutkan lainnya. Akankah pemandangan itu kembali terjadi? Tidak cukupkah informasi positif dari ekonomi domestik seperti; cadangan devisa kita jauh lebih besar, perbankan kita jauh dari masalah (NPF/NPL kecil dengan FDR/LDR tinggi), sektor riil kita sedang berputar dengan akselerasi yang baik, menepis kekhawatiran? Meskipun kekhawatiran lain adalah keakurasian kondisi perbankan, karena sinergi pasar keuangan global, diperkirakan tidak ada satu pasar keuangan pun di dunia ini yang telah berjalan dan mapan dapat lolos dari badai krisis keuangan.

Melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, sepatutnya kita tidak perlu khawatir dengan krisis keuangan. Boleh jadi saat ini kekuatan Indonesia tidak lagi tergantung pada data-data ekonomi tetapi lebih pada kekuatan kebersamaan dalam respon prilaku ekonomi. Percaya diri pada kondisi ekonomi domestik dengan beralih dan konsistem menggunakan produk-produk dalam negeri dan meninggalkan aktifitas transaksi yang berakhir pada penggelembungan semu ekonomi (aktifitas interest base & spekulatif), sedikit banyak akan meningkatkan daya tahan ekonomi nasional. Terlebih lagi jika di sektor produksi, pemerintah dan dunia usaha maksimal menguatkan sektor riil dengan optimalisasi potensi SDA dan SDM dan kebijakan fiskal-moneter yang domestically conducive.

Perbankan, baik Syariah maupun konvensional harus secara maksimal menemukan terobosan dan peluang baru pada sector-sektor usaha domestic. Dengan besarnya potensi pasar, melimpahnya sumber daya alam dan manusia, diperkirakan perekonomian Indonesia belumlah sampai pada angka potensialnya. Sehingga dalam situasi krisis, penguatan sector riil bukan hanya menjadi perisai bagi perekonomian nasional dari infeksi krisis eksternal tetapi juga momentum membangkitkan kekuatan perekonomian Indonesia pada skala yang sebenarnya.

Di samping itu, kalaupun krisis itu menjelma kembali di tanah air tercinta ini, anggaplah sebuah pembelajaran kembali. Mungkin krisis kemarin tidak sepenuhnya menyadarkan kita pada kekacauan system dan prilaku serakah yang merusak. Badai krisis manghantam Indonesia itu sudah pasti, tetapi berapa lama dan berapa dalam implikasinya, kini tergantung pada upaya kita bersama. Semoga Allah SWT berikan yang terbaik. Wallahu a’lam.

http://abiaqsa.blogspot.com/

Tinggalkan komentar